Selasa, 22 Juli 2008

JOKI dan SNMPTN

Tahun 1988 bernama Skalu hingga tahun 2008 bernama SNMPTN yang merupakan kependekan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri. Adalah sebuah metode penyaringan bagi anak bangsa yang mempunyai kemampuan berpikir yang lebih, namun tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi untuk melanjutkan pendidikan tinggi di perguruan tinggi swasta yang cukup mahal.
Namun seiring berjalannya waktu ( selama 20 tahun berjalannya sistem seleksi ini ) muncul stigma dalam masyarakat dimana seseorang bila sudah berkuliah di perguruan tinggi negri adalah orang terpilih yang mempunyai kemampuan berpikir diatas rata-rata, dan mendapatkan aspirasi yang cukup tinggi dari masyarakat. Stigma dari masyarakat ini yang ikut mengiringi perkembangan seleksi masuk perguruan tinggi ini.
Komersialisasi pendidikan terutama pendidikan tinggi juga mempengaruhi pasang surutnya kehidupan perjokian ini. Dengan diubahnya status perguruan timggi negri ini menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) mengharuskan para perguruan tinggi negri untuk mencari dana operasional sendiri. Hal ini membuat perguruan tinggi negri mengadakan Ujian Mandiri (UM) yang berakibat berkurangnya jumlah kursi yang diperebutkan dalam seleksi mahasiswa bersama awal tadi.
Dengan berkurangnya jatah kursi yang diperebutkan dalam seleksi bersama ini mengakibatkan persaingan yang semakin tinggi. Dengan semakin tingginya persaingan dalam memperebutkan kursi perguruan tinggi negri, mengundang beberapa kelompok orang untuk “membantu” para peserta ujian untuk menggapai impiannya untuk berkuliah si perguruan tinggi negri impiannya. Tentu saja dengan imbalan yang memadai.
Sekelompok orang yang menawarkan jasa ini disebut “JOKI”. Dengan berbagai macam metode baik tanpa dan atau dengan bekerja sama dengan panitia lokal setempat para joki ini “menolong” para pemuda bangsa ini menggapai impiannya. Dan fenomena ini terus merebak dan tumbuh dengan subur.
Masuk keperguruan tinggi negri memang adalah suatu prestasi yang cukup membanggakan tapi kalo predikat mahasiswa tersebut didapat dengan keringat, jerih payah, dan kemampuan berpikir orang lain akan menjadi sangat hambar. Adakah suatu kepuasan yang didapat dengan masuk perguruan tinggi negri dengan jalan merogoh kocek dalam-dalam tanpa menunjukan kualitas yang pantas untuk masuk perguruan tinggi negri? Apakah tidak lebih puas ketika kita mampu membuktikan kualitas intelektual kita, sehingga layak dan sepantasnya masuk perguruan tinggi negri?
Mahasiswa adalah pemegang tongkat estafet kehidupan, dimana para kaum tua akan gugur dan digantikan dengan yang lebih muda dan pendidikan tinggi adalah sarana transformasi para kaum muda menuju kedewasaan. Bahwa orang yang telah menempuh pendidikan tinggilah yang akan muncul sebagai pemimpin bangsa. Bahwa orang-orang dengan kualtas intelektual tertentu dan juga memiliki tingkat kedewasaan yang tinggi yang pantas memegang tampuk kepemimpinan.
Tapi apa yang terjadi bahwa pendidikan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi sarana mencetak para cedekiwan bangsa malah dinodai dengan hadirnya praktek “perjokian”. Dimana yang seharusnya dapat menikmati pendidikan tinggi adalah kaum muda yang memiliki kualitas intelektual tanpa memandang status ekonomi. Malah kini tiba-tiba masuk kaum muda dengan tingkat intelektual yang cukup rendah namun punya cukup dana untuk menyewa joki.



Seperti pemaparan diatas bahwa perguruan tinggi adalah sarana mencetak kaum pemimpin bangsa. Sementara kini terjadi penodaan pada institusi pendidikan tinggi ini dengan prakrek perjokian. Apakah yang terjadi bila input dari institusi yang seharusnya mencetak para penerima tongkat estafet bangsa ini adalah orang-orang dengan kualitas moralitas rendah?
Dan orang seperti ini pada akhirnya akan terus melakukan kecurangan pada saat menjalani perkuliahan dan tidak menutup kemungkinan ini akan terus terbawa hingga ia memasuki dunia kerja. Dan tentu saja praktek perjokian ini terus berlangsung maka orang-orang malas seperti diatas akan terus dengan mudahnya mengakses pendidikan tinggi. Dan pada akhirnya kalau ini berlanjut maka masa depan bangsa ini akan terancam buruk.
Praktek perjokian adalah suatu pembodohan dan membuat malas para generasi penerus bangsa. Apalah jadinya bangsa ini bila generasi penerusnya adalah generasi yang malas, bodoh dan bermoral buruk?

Kawan-kawan masa depan bangsa ini ada ditangan kalian. Asahlah intelektualitas kalian agar kalian bisa mengecap pendidikan tinggi yang baik. Dan pada akhirnya kalian akan membawa bangsa ini ke masa depan yang cerah


JANGAN PERNAH MEMAKAI “JASA” JOKI DEMI MASA DEPAN BANGSA YANG CERAH



Write By
Anak Kolong ITB Dari Kaum Patah Hati
Majalah Ganesha ITB

Tidak ada komentar: