Selasa, 22 Juli 2008

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Oleh: Feriandri Sinulingga

Dilatarbelakangi oleh subsidi biaya pendidikan yang tidak lagi sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, beberapa perguruan tinggi dipilih untuk diubah menjadi menjadi BHMN. Selain untuk mengurangi biaya pendidikan yang dikeluarkan pemerintah, diharapkan PT tersebut dapat menentukan renstra (rencana strategis)nya sendiri. Hal ini dimulai sejak keluarnya PP No.61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negri sebagai Badan Hukum. Sebagai konsekuensinya, PTN sebagai BHMN dapat melakukan usaha apapun untuk memenuhi kas keuangannya.
Satu usaha yang dilakukan oleh PT adalah USM (Ujian Saringan Masuk). Sejak dari awal USM ini sudah menjadi kontroversi karena hanya dapat diikuti oleh orang-orang yang mampu membayar sejumlah uang dengan nominal yang terbilang besar. Alasan yang sering digunakan untuk membuka USM adalah dana yang besar dari mahasiswa USM akan didistribusikan ke dalam kas dan digunakan untuk kesejahteraan mahasiswa. Alasan yang tidak dapat kita ketahui kebenarannya karena transparansi keuangan pun mahasiswa tidak memilikinya. Selain itu, Rektorat juga menjamin bahwa mahasiswa yang dihasilkan melalui USM setara dengan mahasiswa melalui SPMB. Dengan alasan demikian, sepertinya USM ini membawa dampak positif bagi kelangsungan Pendidikan. Tetapi bagaimana nasib mereka yang mempunyai kemampuan inteligensia tetapi tidak mempunyai kemmapuan financial. Dengan kata lain membeli formulirnya saja dia tidak sanggup apalagi membayar sumbangan yang begitu besar. Nah, sebenarnya disini lah pokok permasalahannya. Maka mereka yang mempunyai uang akan memperoleh pendidikan sedangkan mereka yang tidak mempunyai uang hanya boleh menjadi pengemis dan gelandangan saja.
Dimana peran pemerintah sebagai stack holder Pendidikan? Mereka lepas tangan dan menutup mata melihat kondisi yang terjadi. Maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa orang miskin dilarang sekolah. Hal ini bertentangan dengan tujuan Negara dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (masyarakat). Pendidikan harus dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, pendidikan jangan dianggap sebagai komoditi pasar yang hanya dipandang melalui proses permintaan dan penawaran. Pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia, sehingga pendidikan tidak boleh dibatasi dengan angka-angka.

Tidak ada komentar: